Ilusi Kopi

      Pukul satu pagi, dari kedai kopi yang masih memberiku kesempatan memasuki ruang rindu sembari bertanya, adakah aku dihatimu setelah sekian lama kita bersama. Menghirup udara, mengizinkan setiap desah nafasmu dapat terisi disetiap rongga. Aku bersama kenangan masih setia menunggu jawaban apa yang akan kau berikan. Tak lama, kudengar suara kecil juga mempertanyakan hal yang serupa. Ternyata aku bukan satu-satunya.

Beginikah caramu bermain dengan kecewa, Membiarkan dia berlarian di pelataran rindu sedangkan aku kau biarkan memungut derita. Dipaksa meresapi setiap ucapan dalam bentuk perhatian. Teganya, kau biarkan hatiku hancur berkeping tak karuan. Menyentuh rasa yang kini berubah menjadi amarah, celakanya padamu rinduku tak pernah sirna.   

Padahal aku selalu ada, pada setiap kecemasanmu akan perpisahan melanda. Pada setiap rindu yang tak pernah bertemu. Pada setiap hati yang berharap untuk tetap ada disini. Ternyata mencintaimu adalah sebuah ilusi. Aku ucapkan selamat, sebab aku yang kau sakiti akan tetap mencintai. Tugasmu sederhana, bahagia bersamanya. Membersihkan serat-serat harapan yang tertinggal bersama kenangan itu adalah bagianku. Kapan saja pipimu rindu tawa, KEMBALILAH!!! Sebab aku yang kau titipkan luka takkan pernah berubah menjadi kecewa.

 Kini, kesendirian yang tak pernah terfikirkan mengoyak tubuhku secara perlahan. Mencibir hati menasbihkan perih. Menggrogoti rasa walau kutahu selamanya kau akan tetap disana. Hadirmu menjadi dilema, pada siapa aku bergantung jika hanya kepadamu perasaanku terkepung. Terimakasih atas segala kasih. Setidaknya aku pernah tahu indahnya pelangi, walau pada akhirnya bukan aku yang kau ajak singgah di hati.


-r-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ilusi Kopi

         Pukul satu pagi, dari kedai kopi yang masih memberiku kesempatan memasuki ruang rindu sembari bertanya, adakah aku dihatimu setelah...